Kisah Menarik Tentang Prabowo Dan Tanah Air Indonesia
Jurnal Akbar. Prabowo Subianto saat makan malam di Padepokan Garuda Yaksa,
Bukit Hambalang, Bogor. Dalam suatu dialog, saya mencoba mengulik
pemahaman beliau tentang Indonesia. Harap maklum, tahun 2013 dan pra
Pilpres 2014–(hingga sekarang) setiap statement Prabowo selalu menjadi
bahan ejekan.
Ketika Prabowo berteriak soal NKRI Harga Mati beliau di cap ultra nasionalis. Ketika berbicara mengenai Bela Negara, beliau di cap fasis. Ketika juga berbicara mengenai Bhinneka Tunggal Ika–Prabowo dianggap kuno dan tidak kekinian. Kok sok memakai bahasa sansekerta, bukan bahasa Inggris seperti “I stand on de-onde” atau lain sebagainya. Hal yang entah mengapa disaat awal tahun 2017 ini juga malah sering dipakai tanpa tudingan seperti apa yang pernah ditujukan ke sosok Prabowo Subianto ini.
Apalagi, dimataku ini–buku Kembalikan Indonesia (2004) dan Membangun Kembali Indonesia Raya (2009) (terakhir – Paradox Indonesia 2017) sangat luar biasa isinya. Isinya membelah otak dan seakan dimasuki pandangan-pandangan tentang Ke-Indonesia-an versi Prabowo Subianto.
Hanya saja, muncul pertanyaan kecil. “Darimana bapak tahu soal Indonesia?”
Pertanyaan kecil yang dijawab dengan tohokan kalimat yang akhirnya membuatku tidak bisa tidur berhari-hari.
“Bagaimana mungkin saya tidak tahu tentang tanah air Indonesia. Sumur seluruh kota dan kabupaten sudah saya minum airnya” jawab Prabowo.
Ya, saya lihat mimik mukanya datar. Matanya juga seperti biasa saja. Tidak terlihat niat lebay atau mengada-ada. Tidak pula sedang membuat sejenis diksi atau perumpamaan.
Walau entah, saya belum bertanya lebih detai perihal air minum dari sumur seluruh kabupaten di Indonesia ini. Apakah dalam kondisi mentah atau sudah dimasak dan dicampur kopi seperti hobi beliau meramu kopi ini.
Istriku sepertinya juga sangat tertegun sampai berkerut kening lalu bertanya untuk memastikan. “Minum seluruh air sumur yang ada di semua Kabupaten di Indonesia?”
“Iya, buk. Beneran. Makanya bapak juga pengen bikin video dengan niche ini. Niche minum air sumur di tiap kabupaten di Indonesia”.
aya cukup lega sampai taraf ini. Istriku paham. Suaminya juga harus bisa merasakan air tanah di Indonesia kalau memang tidak mau tanggung-tanggung mengenal negerinya sendiri. Tentu dengan penulisan atau pembuatan video dengan hasil yang tidak biasa-biasa saja.
“Kalau lah memang takdir dan tugas dari Allah untuk mencatat atau mendokumentasikan tentang Indonesia, saya yakin Allah juga akan memberi jalanNya juga. Percaya saja, pak. Kun fayakun” katanya memberi semangat.
Hal yang akhirnya membuatnya kini ikut bersemangat membantu mencari kontak dan referensi apabila panggilan tugas dari Allah ini benar-benar terjadi. Dari nama-nama dan alamat saudaranya, masjid atau tempat ibadah yang bisa ditumpangi apabila kesulitan mencari penginapan. Bahkan menghitung investasi pembelian telefon satelit yang terdapat fitur internetnya apabila daerah yang dikunjungi tidak dalam coverage sinyal seluler.
Duh, saya senang sekali.
Apalagi, pernah suatu ketika bercerita kepada mas Pras, salah satu sahabat perihal rencana ini. Ia pun memberi satu ide yang sangat menarik.
“Coba mas Srondol ikut saya kalau sedang tugas luar kota atau luar pulau. Enak kok, cuman modal naik bus Damri” katanya menjelaskan.
Hah, naik bus Damri? Ke Aceh, Balikpapan, Manado naik Damri. Hmm, baiklah.
“Ok, sip, mas. Tidak masalah” kataku yakin.
“Maksudku, naik bus Damri sampai bandara” katanya sambil tertawa terbahak.
Hahaha, siyal. Kena jebakan kata-kata rupanya.
Ya, walau belum benar-benar kejadian. Setidaknya ada harapan untuk bisa memberi tanda emotikon pada status facebook perihal provinsi-provinsi yang sudah di kunjungi. Bila perlu mengikuti beliau, sampai pada level Kabupaten/Kotamadya di Indonesia. Entah bagaimana nanti jalannya.
Ketika Prabowo berteriak soal NKRI Harga Mati beliau di cap ultra nasionalis. Ketika berbicara mengenai Bela Negara, beliau di cap fasis. Ketika juga berbicara mengenai Bhinneka Tunggal Ika–Prabowo dianggap kuno dan tidak kekinian. Kok sok memakai bahasa sansekerta, bukan bahasa Inggris seperti “I stand on de-onde” atau lain sebagainya. Hal yang entah mengapa disaat awal tahun 2017 ini juga malah sering dipakai tanpa tudingan seperti apa yang pernah ditujukan ke sosok Prabowo Subianto ini.
Apalagi, dimataku ini–buku Kembalikan Indonesia (2004) dan Membangun Kembali Indonesia Raya (2009) (terakhir – Paradox Indonesia 2017) sangat luar biasa isinya. Isinya membelah otak dan seakan dimasuki pandangan-pandangan tentang Ke-Indonesia-an versi Prabowo Subianto.
Hanya saja, muncul pertanyaan kecil. “Darimana bapak tahu soal Indonesia?”
Pertanyaan kecil yang dijawab dengan tohokan kalimat yang akhirnya membuatku tidak bisa tidur berhari-hari.
“Bagaimana mungkin saya tidak tahu tentang tanah air Indonesia. Sumur seluruh kota dan kabupaten sudah saya minum airnya” jawab Prabowo.
Ya, saya lihat mimik mukanya datar. Matanya juga seperti biasa saja. Tidak terlihat niat lebay atau mengada-ada. Tidak pula sedang membuat sejenis diksi atau perumpamaan.
Walau entah, saya belum bertanya lebih detai perihal air minum dari sumur seluruh kabupaten di Indonesia ini. Apakah dalam kondisi mentah atau sudah dimasak dan dicampur kopi seperti hobi beliau meramu kopi ini.
Istriku sepertinya juga sangat tertegun sampai berkerut kening lalu bertanya untuk memastikan. “Minum seluruh air sumur yang ada di semua Kabupaten di Indonesia?”
“Iya, buk. Beneran. Makanya bapak juga pengen bikin video dengan niche ini. Niche minum air sumur di tiap kabupaten di Indonesia”.
aya cukup lega sampai taraf ini. Istriku paham. Suaminya juga harus bisa merasakan air tanah di Indonesia kalau memang tidak mau tanggung-tanggung mengenal negerinya sendiri. Tentu dengan penulisan atau pembuatan video dengan hasil yang tidak biasa-biasa saja.
“Kalau lah memang takdir dan tugas dari Allah untuk mencatat atau mendokumentasikan tentang Indonesia, saya yakin Allah juga akan memberi jalanNya juga. Percaya saja, pak. Kun fayakun” katanya memberi semangat.
Hal yang akhirnya membuatnya kini ikut bersemangat membantu mencari kontak dan referensi apabila panggilan tugas dari Allah ini benar-benar terjadi. Dari nama-nama dan alamat saudaranya, masjid atau tempat ibadah yang bisa ditumpangi apabila kesulitan mencari penginapan. Bahkan menghitung investasi pembelian telefon satelit yang terdapat fitur internetnya apabila daerah yang dikunjungi tidak dalam coverage sinyal seluler.
Duh, saya senang sekali.
Apalagi, pernah suatu ketika bercerita kepada mas Pras, salah satu sahabat perihal rencana ini. Ia pun memberi satu ide yang sangat menarik.
“Coba mas Srondol ikut saya kalau sedang tugas luar kota atau luar pulau. Enak kok, cuman modal naik bus Damri” katanya menjelaskan.
Hah, naik bus Damri? Ke Aceh, Balikpapan, Manado naik Damri. Hmm, baiklah.
“Ok, sip, mas. Tidak masalah” kataku yakin.
“Maksudku, naik bus Damri sampai bandara” katanya sambil tertawa terbahak.
Hahaha, siyal. Kena jebakan kata-kata rupanya.
Ya, walau belum benar-benar kejadian. Setidaknya ada harapan untuk bisa memberi tanda emotikon pada status facebook perihal provinsi-provinsi yang sudah di kunjungi. Bila perlu mengikuti beliau, sampai pada level Kabupaten/Kotamadya di Indonesia. Entah bagaimana nanti jalannya.
Comments
Post a Comment